Logo HM tg jpg
Beranda » Peristiwa » Dibalik Derasnya Air, Ketimpangan Mengalir: Cerita Banjir di Pamekasan

Dibalik Derasnya Air, Ketimpangan Mengalir: Cerita Banjir di Pamekasan

Harian Madura

Oleh: Moh. Su’udy Ali*

Setiap musim hujan datang, Kabupaten Pamekasan seperti mgulang kisah lama: air bah kembali datang, dan warga kembali berjibaku menyelamatkan diri serta harta benda.

Namun, dibalik derasnya arus banjir, tersimpan cerita getir ketimpangan yang seolah menjadi bencana tambahan bagi sebagian warga, terutama mereka yang tinggal di pedesaan wilayah Pantura.

Selama beberapa tahun terakhir, banjir telah menjadi langganan tahunan di Pamekasan. Namun, yang menyedihkan, bukan hanya karena derasnya air yang menenggelamkan rumah dan harapan, tetapi karena perbedaan nyata dalam penanganan antara wilayah Kota dan Desa.

Pemerintah tampak sigap ketika air melanda kawasan perkotaan, alat berat segera dikerahkan, logistik datang tepat waktu, dan proses evakuasi berjalan cepat. Media pun ikut menyorot, mempercepat respon dan kepedulian dari berbagai pihak.

Namun, lain cerita di Desa wilayah Pantura yang juga kerap kali menjadi langganan banjir dalam beberapa tahun terakhir. Di sana, banjir datang membawa kehancuran tanpa disambut oleh bala bantuan.

Banyak desa terisolasi, akses terputus, dan warga terjebak tanpa logistik, apalagi perhatian pemerintah. Bantuan, jika pun datang, sering kali sudah terlambat. Bahkan, tak jarang, tidak datang sama sekali.

“Seolah-olah kami ini warga kelas dua, nasib hidup di Pantura saat banjir tidak pemerintah yang hadir,” ujar Nadir seorang warga Desa Ragang, Kecamatan Waru, Pamekasan yang rumahnya sudah dua kali terendam banjir dalam setahun terakhir.

Dia dan keluarganya harus mengungsi ke rumah kerabat tanpa kepastian kapan bantuan datang. Kondisi itu, kata dia, menciptakan kesan kuat bahwa pemerintah lebih memprioritaskan wilayah kota, mungkin karena pertimbangan ekonomi, mungkin pula karena tekanan politik.

Namun, bukankah setiap warga negara, tanpa memandang tempat tinggalnya, berhak atas perlindungan dan keadilan?

Ketimpangan ini bukan hanya soal respons bencana, tetapi juga mencerminkan jurang sosial yang semakin melebar. Desa-desa yang selama ini menjadi penyangga pangan dan budaya kini harus berjuang sendiri di tengah bencana, nyaris tak terdengar jeritnya.

Sudah waktunya ada perubahan. Pemerintah Daerah harus melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem penanganan bencana. Tidak boleh lagi ada warga yang merasa terabaikan hanya karena tinggal jauh dari pusat kota. Bencana tidak memilih tempat, dan semestinya, bantuan pun demikian.

Karena di tengah gelombang banjir, yang paling dibutuhkan bukan hanya perahu karet atau logistik, tapi juga keadilan yang mengalir merata ke setiap sudut negeri

*Wartawan detektifjatim.com

#Pamekasan Banjir

Tag;

Recent News

Terlewati

Pendidikan

Scroll to Top